Pengertian Budaya Pariwisata
Sejak Pariwisata Budaya dijadikan doktrin resmi Indonesia, berbagai tanda menunjukkan bahwa minat orang Bali mengenai hal itu mulai mengendor. Sejak akhir tahun 1970-an, studi-studi mengenai dampak sosial-budaya pariwisata serta seminar-seminar tentang hubungan antara pariwisata dan kebudayaan kian langka. Bukan berarti minat terhadap pariwisata berkurang, tetapi kini pariwisata sudah menjadi bagian integral dan ruang budaya Bali. Dan kendati Pariwisata Budaya tetap dijadikan acuan mutlak dan tetap menipakan ciri khas Bali sebagai daerah tujuan wisata, namun cara pengungkapannya mulai berubah, lebih singkat dan kini huruf besar yang tadinya mencirikannya sudah tidak ada. Rumusan itu betul-betul telah kehilangan keistimewaannya sehingga, di tengah upaya berbagai pihak mempromosi pariwisata dan berusaha memperluas produk-produk yang dijualnya, kini Pariwisata Budaya tidak lebih menjadi salah satu dari sekian banyak produk yang ditawarkan. jadi kini di samping “wisata budaya”, ada juga “wisata alam”, “wisata bahari”, “wisata rimba”, “wisata desa”, “wisata pertanian”, “wisata olahraga”, “wisata konvensi”, “wisata spiritual”, dan seterusnya, tanpa melupakan, untuk disesalkan, “wisata seks”. Dengan lain kata, Pariwisata Budaya tak lebih daripada salah satu bagian di antara serangkaian produk wisata lainnya.
Sejajar dengan pergeseran arti Pariwisata Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan prioritas. Hal yang kini lebih diperhatikan orang Bali adalah bagaimana memanfaatkan budaya mereka demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak pariwisata terhadap kebudayaan mereka. Kalau tidak percaya, cukup melihat hasil satu-satunya seminar penting tentang pariwisata di Bali yang diselenggarakan pada tahun 1980-an. Berbeda dengan seminar sebelumnya yang semuanya menyangkut “pembinaan kebudayaan dan pengembangan kepariwisataan”, seminar tahun 1987 yang diselenggarakan atas prakarsa pemerintah daerah itu hanya bertema “pembinaan dan pengembangan pariwisata” (Pemda Bali 1987). Dan satu-satunya makalah yang bertopik budaya, yang disajikan oleh Ida Bagus Rata, Kepala Dinas Kebudayaan Bali, hampir sepenuhnya membicarakan bagaimana sebaiknya budaya Bali menyumbang secara efisien pada pengembangan pariwisata (Rata 1987).
Melihat kenyataan ini, kita agaknya tergoda untuk berkesimpulan bahwa, di antara Seminar Pariwisata Budaya tahun 1971 di satu pihak, dan Komisi Kerjasama Pembinaan dan Pengembangan Wisata Budaya pada tahun 1979 di lain pihak, instansi-instansi Bali telah menyerah tanpa syarat dan pada akhirnya telah mengorbankan usaha pembinaan kebudayaan demi tuntutan pengembangan pariwisata. Singkatnya, yang kini dianggap penting bukan lagi melindungi orang Bali dari sentuhan wisatawan yang merusak itu, melainkan mengerahkan partisipasi mereka dalam usaha promosi pariwisata pulau mereka. Dan yang dipermasalahkan bukan lagi bagaimana menentukan batasan dan wilayah yang dipariwisatakan, melainkan upaya memanfaatkan segala aset yang dapat meningkatkan pangsa pasar produk wisata Bali. Namun sebenarnya tidak sesederhana itu, dan saya berpendapat bahwa perubahan sikap instansi Bali di atas hanyalah lanjutan logis dari momentum yang berjalan sejak perintisan konsep Pariwisata Budaya.
Sudah jelas bahwa sejak tahun 1980-an, orang Bali tidak lagi takut pada pariwisata. Buktinya adalah pergeseran anti dari konsep “kebudayaan pariwisata”, yang telah berkembang sejajar dengan evolusi konsep “pariwisata budaya”. Dengan diperpendek (dari “kebudayaan pariwisata” menjadi “budaya wisata”), konsep ini tidak saja dijamakkan, melainkan juga diangkat kembali. dikontraskan secara negatif dengan “wisata budaya” dan dianggap sebagai wujud konkret dari bahaya yang harus dihindari, istilah “budaya wisata” kini dipakai oleh media bila membicarakan mentalitas yang cocok dengan pariwisata, dan mengenai budaya yang mampu menyesuaikan diri dengan wisatawan dan tuntutan-tuntuntannya. Pendeknya, semakin konsep ini dijamakkan, semakin terangkat citranva. Sehingga kedua rumus “wisata budaya” dan “budaya wisata” kini lebih sering muncul sebagai konsep yang terpadu daripada bertentangan.
Lebih jauh lagi, kekhawatiran yang dicetuskan sebagai akibat kedatangan wisatawan kini justru sebaliknya digantikan oleh sambutan terbuka. Buktinya pandangan yang mempermasalahkan pariwisata telah berubah secara luar biasa. Dulu pariwisata dianggap sebagai faktor “polusi kebudayaan”, kini dinilai oleh instansi Bali sebagai faktor “renaisans budaya”. Alasan bahwa sekarang pariwisata lebih diterima, argumentasinya sama seperti yang dulu dikemukakan oleh ‘McKean: uang para wisatawan konon merangsang perhatian orang Bali terhadap tradisi budaya mereka, sedangkan rasa kagum pengunjung memperkuat jati diri dan martabat mereka. Hal itulah yang semakin banyak dipercayai oleh para pengamat asing yang mungkin juga lega karena kekhawatiran mereka semula tidak berdasar:
Argumen ini telah menjadi pendapat resmi di Bali setelah diberi cap pengesahan oleh Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. Gubernur itu diangkat pada tahun 1978 oleh Presiden Soeharto menggantikan seorang kolonel Jawa yang ditempatkan di Bali 11 tahun sebelumnya untuk mcmulihkan keamanan setelah pembunuhan massal yang menyertai jatuhnya rezim Soekarno. Gubernur itu memiliki semua ciri agung yang menyertai wibawanya, baik di mata orang Bali maupun pemerintah pusat. Pertama-tama dan terutama dia adalah orang Bali dan berdarah Brahmana; bergelar Doktor dan sebuah universitas India terkemuka, seorang pakar budaya dan agama; setelah menjadi salah satu pendiri Parisada Hindu Dharma, dia diangkat sebagai Rektor Universitas Udayana dan Dirjen Kebudayaan di Jakarta; dia juga dikenal sebagai orang dekat Presiden Soeharto. Pengangkatannya disusul bebarapa waktu kemudian oleh penyelenggaraan upacara bersih bumi, Eka Dasa Radra, di Pura Besakih pada tahun 1979. Dihadiri oleh Presiden Republik RI, wartawan televisi asing, dan ribuan wisatawan, upacara itu berlangsung dengan sukses, berbeda dengan upacara serupa yang diselenggarakan pada tahun 1963, yang berakhir tragis. Dengan Eka Dasa Rudra itu, agama Bali diperkokoh legitimitasnya di tengah bangsa Indonesia (Stuart-Fox 1982). Untuk orang Bali, yang pada waktu itu masih khawatir dengan peningkatan pengaruh Sawa di pulau mereka, pengangkatan seorang Gubernur bersuku Bali itu dianggap sebagai tanda rekonsiliasi nasional dan pengakuan legitimitas identitas Bali oleh pemerintah pusat. Keprihatinan tadi kemudian lenyap diganti ketentraman, sikap percaya diri menggantikan sikap delensif instansi-instansi Bali.
Maka menurut pernyataan instansi-instansi itu, setelah menjalani periode penyesuaian—yang berlangsung sepanjang waktu penetrasi asing yang pesat itu dan menimbulkan berbagai kekhawatiran—Pariwisata Budaya pada akhirnya memenuhi harapan yang dicanangkan padanya. Namun, sebelum kita dengan orang Bali menyambut “sukses” ini, kita hendaknya memilik kembali argumentasi tentang “renaisans” budaya Bali. Di situ terlihat bahwa yang dinamakan “renaisans budaya” tiada lain adalah proses turistifikasi dan sekaligus Indonesianisasi dan kebudayaan Bali. Pertama-tama yang akan saya selidiki adalah apa yang terjadi dengan “kebudayaan Bali” bila dituntut memberikan sumbangan pada pengembangan pariwisata internasional di Indonesia dan sekaligus pada pembinaan kebudayaan nasional Indonesia. Dulu kita akan melihat bagaimana orang Bali, ditekan oleh kedua tuntutan di atas, telah mencapai titik pandang tcrtentu di mana mereka mencari dalam pandangan wisatawan dan orang Indonesia lainnya pengakuan identitas budaya mereka. (artikelterbaru.com)