Lonceng Cakra Donya, Icon Museum Aceh

17/07/2012 01:25

Anjond.com - Cuaca kala itu terasa lebih sejuk dari biasanya. Beberapa saat yang lalu hujan baru saja reda. Menyisakan tetes air yang terus berjatuhan dari dedaunan. Saya mengunjungi kawasan situs sejarah Aceh itu awal Juni lalu.

Suasana di areal museum sore itu tampak sepi pengunjung, hanya segelintir orang termasuk mereka anak-anak sekolahan yang lalu lalang mengitari kawasan bersejarah tersebut. Sesekali mereka tampak mengabadikan moment dengan kamera dari beberapa sisi museum.

Berdiri menghadap muka Rumoh Aceh. Dari sisi kanan gedung terdapat sebuah pos jaga berukuran 3x2 meter. Tak jelas siapa penghuninya kala itu. Tepat di belakang pos jaga tampak sebuah bangunan kecil setinggi tiang listrik, seperti kubah masjid yang memiliki tiga atap berlapis. Di dalamnya menggantung besi tua yang sudah berkarat. Sebuah lonceng berbentuk stupa umat hindu.

 Gambar : Bangunan Lonceng Cakra Donya

Bangunan itu ditempatkan langsung di pinggir Krueng Daroy. Atap bangunan itu memiliki dua versi. Di bagian dasar berbentuk atap rumah khas Aceh, sedangkan tiga lapisan atap berikutnya berbentuk atap masjid “buno” (awal - red). Perkawinan antara atap rumah Aceh dan atap masjid. Di atas atap, terdapat kayu seperti antena berukuran 20 centimeter berbentuk meruncing ke atas dengan pahatan menyerupai bentuk atap bangunan.

Sisi bangunan yang menyimpan lonceng bersejarah itu dikelilingi papan menyerupai deretan pagar yang tersusun rapi. Setiap sudutnya terdapat tiga tiang penyangga bercat hitam pekat. Bagian lantai, setiap sisinya ada tiga anak tangga berwarna jingga kemerahan.

Bangunan lonceng itu dinamakan Tjakra Dunia. Masyarakat menyebutnya Cakra Donya. Sebutan itu berasal dari nama sebuah kapal perang yang pada masa itu lonceng dengan berat 750 kilogram tersebut pernah singgah dalam kapal yang bernama Cakra Donya. Cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. “Fungsinya sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda,” kata Nurdin AR, pria paruh baya yang menjabat sebagai kepala Museum Aceh.

Bagian luar lonceng yang memiliki tinggi 125 centimeter dan lebar 75 centimeter ini terdapat hiasan serta simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo, artinya “Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5”. Sedangkan aksara Arabnya sudah tidak terbaca lagi.

Di permukaan atas lonceng, tempat digantungkan benda bersejarah itu terdapat ukiran berbentuk dua kepala naga yang bersambung membentuk lubang, tempat dipautkannya lonceng.

Lonceng tersebut diberikan oleh Kaisar Cina, Laksamana Cheng Ho kepada Sultan Aceh dalam rangka mengikat persahabatan. “Membangun persahabatan dan kerjasama antara negara-negara Asia Tenggara yang dominan muslim, sebab Cheng Ho seorang muslim Tionghoa,” tutur Nurdin.

Konon, lonceng ini telah berusia kurang lebih 700 tahun. Sudah dua kali dipindahkan. Pada 1915 diletakkan di Blang Padang, digantung di sebuah pohon kuda-kuda, diikat dengan rantai. Dan terakhir ditempatkan di museum Aceh sejak 1968.

Dalam bukunya, Cakra dōnya. G.L. Tichelman yang merupakan seorang kontrailer Belanda di Padang Tiji mengatakan bahwa lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh masyarakat Aceh.

Banyak mitos yang berkembang kala itu. Ada yang mengatakan jika lonceng dibunyikan akan menyebabkan banjir besar, “karena ketika masih diletakkan di Blang Padang, setiap kali dibunyikan selalu terjadi banjir besar, makanya dipindahkan kemari, kalau di sana tenggelam loncengnya. Sebab waktu itu lonceng ini diturunkan ke tanah, takut pohonnya patah,” ujarnya seraya menunjuk ke arah bangunan lonceng.

“Padahal banyak anak SMP yang sering membunyikannya, dan tidak terjadi banjir,” tutur Nurdin lagi sembari tertawa.

Gambar : Anak genta yang telah hilang sejak lonceng diletakkan di Blang Padang

Bahkan, pria berkacamata ini mengatakan anak gentanya yang telah hilang sejak tahun 1915 pun menjadi mitos. “Ada dua orang pemuda yang tinggalnya di Banda Aceh bermimpi melihat anak genta di dalam sungai, tepat di belakang pos jaga” ia menambahkan, “ada yang bermimpi melihat Pocut Meurah, anak Sultan Iskandar Muda ketika itu sedang berdiri di jembatan Krueng Daroy dengan menandahkan tangan ke atas seraya bertasbih dan perlahan anak genta itu terangkat ke langit,” kata nurdin mengisahkan cerita pemuda tersebut.

Tepat di bawah lonceng, rantai pengait lonceng dahulu tampak berkarat. Diletakkan di atas kayu sebesar meja belajar berukuran 30x45 centimeter berwarna hitam pekat. “Sejak lonceng dipindahkan kemari, rantai itu memang sudah diletakkan disana,” ujar Aulia, seorang Staf Museum yang memandu sore itu.

Gambar : Rantai yang dipakai saat menggantungkan lonceng di pohon kuda-kuda. Sekarang diletakkan di bawah lonceng.

Pria berkulit kuning langsat itu masih dengan pakaian dinasnya. Ia begitu bersemangat bercerita. Menurutnya, lonceng Cakra Donya menjadi icon tersendiri di mata pengunjung. “Banyak turis yang bertanya tentang cakra donya, lonceng itu bahkan merupakan iconnya Museum Aceh,” katanya.

“Tidak ada yang mengira lonceng itu lebih tua dari rumah peninggalan belanda ini,” jelasnya lagi seraya mengedarkan pandangan ke setiap sisi museum.

Keadaan lonceng kian renta. Kata Aulia, pihak museum tidak memiliki anggaran khusus untuk perawatan lonceng tersebut. “Dananya ada, tapi tidak khusus untuk perawatan lonceng saja, dana untuk perawatan semua benda koleksi museum, tapi beberapa tahun sekali memang ada khusus untuk perawatan lonceng,” ujarnya.

Zulaikha, wanita asal Malaysia ini menyempatkan diri berkunjung ke Museum Aceh. Di depan lonceng ia kala itu tampak begitu terpesona melihat setiap sisi lonceng.

“Penuh sejarah, terpukau saya,” tuturnya mengguratkan tanda kekaguman. Ia duduk di kursi batu di samping bangunan lonceng. Mengenakan setelan baju kurung hijau motif bunga. Selendang putih menutupi kepala.

Ia memboyong serta keluarga besarnya untuk berkunjung. Sudah dua hari ini menetap di Blower. “Saya paham persis Aceh ni negri penuh sejarah, banyak Sultan, tapi ni lonceng saya tak pernah tahu, tadi saya kira itu rumah Cut nyak punya, keliru saya,” katanya sambil menunjuk rumah yang pernah dipamerkan di Semarang itu.

Wanita berusia 72 ini menyatakan ia terkejut saat petugas museum mengatakan kalau lonceng ini pemberian raja Cheng Ho. “Saya tak sangka kalau ia seorang muslim, mungkin beliau yang menyebarkan agama Islam di pesisir China, di sana muslim semua,” katanya sembari membetulkan selendangnya yang diterpa angin.

Cuaca kian meredup, Langit senja tampak berkilau dengan warna keemasan. waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Menandakan waktu berkunjung telah habis, tapi masih saja ada segelintir orang yang ingin menikmati senja di bawah rumah yang berada tepat di tengah kawasan museum tersebut.

Angin berhembus kencang, menyisir deras setiap permukaan. Burung gereja sedari tadi berlalu lalang melintas di langit yang berawan itu. Sesekali kawanan burung pemakan biji itu turun kepermukaan untuk mematuk makanan. Angin kembali menerpa, lonceng Cakra Donya tak pelak bergeming mendendangkan gaungnya.


Penulis : Cut Lusi Chairun Nisak
Mahasiswi Fakultas Komunikasi FISIP, Unsyiah
Alumni di Muharram Journalist College (MJC)
Dan juga aktif di Media Kampus DETaK Unsyiah