Kemiskinan di Aceh bak Buaya yang Membudaya

04/03/2012 00:06
Kemiskinan terus mendera Aceh, bahkan garis kemiskinan di kota yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah ini kian bertambah. Hal ini tak lain disebabkan jumlah pengangguran yang juga semakin bertambah. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pengangguran di Aceh per-Februari 2011 terhitung sekitar 171.000 orang. Tentu jika kita melihat ke belakang tepatnya bulan Agustus di tahun 2010, jumlah pengangguran meningkat 9000 orang dari 162.000 orang. Apa yang salah mengenai hal ini?
 
Kenapa saya coba mengambil judul “Kemiskinan di Aceh bak Buaya yang Membudaya” dari tema POVERTY AND ACEH, karena saya melihat Aceh bukan seburuk-buruknya kota/provinsi. Aceh kaya akan hasil bumi dan alam nya. Aceh memiliki Keindahan Alam yang bisa kita jual dalam sektor Pariwisata, bahkan Budaya Aceh yang kental itu sendiri bisa kita jual sebagai gambaran betapa kaya nya sumber daya yang ada di Aceh ini, sebagai contoh adalah Bali.
 
Lalu kembali kita bertanya dimana faktor X kemiskinan di Aceh itu? Jika kita membahas masalah pendidikan, Pelajar, Mahasiswa/I dan Pendidik di Aceh bukan sebodoh-bodohnya seorang manusia. Lihat saja, tak sedikit Mahasiswa/I Aceh yang berprestasi di dalam Negeri dan bahkan di luar Negeri.
 
Saya sendiri lebih tertarik untuk menyingkap masalah Budaya di Aceh sebagai salah satu faktor kemiskinan di Aceh. Dari ilmu yang saya terima dalam mata kuliah Ekonomi Makro di kampus FE Unsyiah tercinta ini,  wawasan saya seakan terbuka saat Bapak dosen menjelaskan bahwa Faktor Budaya sebagai salah satu faktor besar penyebab kemiskinan di Aceh.
 
Saya cenderung melihat mengenai istilah “uang tidur” di Aceh. ya, uang tidur itu diartikan sebagai Uang yang disimpan di Bank atau dibelikan dalam bentuk asset yang tak bergerak seperti emas,tanah,dll. Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga (salah satu motif memegang uang). Tapi tahukah bahwa Uang tidur itu bak menjadi budaya buruk yang melekat dalam masyarakat Aceh.  Hal itu menyebabkan aliran uang tak berputar/perokonomian tersendat. Alangkah baiknya jika Masyarakat Aceh mau menginvestasikan uangnya untuk membangun sebuah usaha dan otomatis menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh yang menganggur.
 
Lalu ada juga istilah "Lahan tidur". Ini diartikan sebagai lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Ini juga fakta yang kita dapat lihat langsung di sekitar kita. Banyak lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Andaikata lahan itu dibangun sebuah Lapangan pekerjaan, tentu itu akan membantu bagi mereka yang menganggur. Dalam konteks terkecil saja, jika tanah itu dibangun sebuah rumah/komplek tentu akan menyerap banyak tenaga kerja.
 
Bahkan jika kita melihat fenomena Mahasiswa yang terjadi di sekitar kita seperti tak mencerminkan bahwa Banda Aceh adalah salah satu kota Pelajar di Indonesia. lihat saja bagaimana mereka “Mahasiswa” lebih cenderung memilih untuk duduk/nongkrong di warung kopi menghabiskan waktunya yang sia-sia dengan Seperangkat Laptop dan Game di depannya. Berbeda dari apa yang saya lihat mengenai pelajar di Jawa. Mungkin itu kenapa pentingnya berwirausaha untuk mencegah penyebab kemiskinan yaitu pengangguran yang tercerminkan dalam tujuan Organisasi Inkubator di Kampus Ekonomi Unsyiah.
 
Balik ke Data mengenai kemiskinan di Aceh, angka garis kemiskinan di Aceh pada maret 2010 adalah Rp.211.726,- per kapita perbulan. Silahkan saja kita menyalahkan pemerintah yang mungkin kurang peka terhadap hal ini. dan juga kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah tak mampu menjadikan Aceh sebagai daerah yang menarik Investor. Tapi apa salahnya jika kita mampu merubah diri kita dahulu untuk lebih peduli terhadap kemiskinan yang mendera Aceh, terutama menghilangkan budaya yang saya paparkan sedemikian tadi.
 
Pernah saya membaca sebuah cerita ada seorang anak muda yang ingin mengubah Dunia, namun ketika dia remaja dia tak mampu melakukannya. Lalu dia memutuskan untuk mengubah Negara, lalu semakin dewasa dia semakin tak bisa melakukannya. Lalu dia berkeputusan untuk merubah Kota nya, tapi kembali lagi dia tak bisa melakukannya. Hingga akhirnya dia semakin tua, dan dia berkeputusan untuk mengubah keluarganya saja, tapi dia juga gagal melakukannya. Dan akhirnya dia juga gagal mengubah dirinya sendiri.
 
Lalu dia Flashback, seandainya aku mengubah diriku dahulu. Mungkin aku bisa mengubah keluargaku, lalu aku bisa mengubah kota ku, Negara ku dan bahkan dunia. Pesan dari kutipan di atas adalah “Ubah dulu dirimu sendiri” (anton)