Festival Pasola dan Sejarahnya

13/11/2011 20:40

Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.

Pasola itu sendiri adalah Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya. Yaitu  ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Dimana setiap kelompok berjumlah lebih dari 100 orang pemuda yang bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu dengan diameter kira-kira 1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Tak jarang, dalam permainan ini juga memakan korban bahkan korban jiwa. Namun tidak ada perasaan dendam dalam permainan tersebut. Menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.

Tragedi Asmara di Padang Savana
Membedah pulau Sumba terbesit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk dan berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku.

Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.

Sumba, merupakan pulau dengan padang savana yang mimiliki kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajahi lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat dan gurih.

Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setiap satu tahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya, sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum. Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola merupakan acara klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.

Skandal Janda Cantik
Menurut cerita setempat, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana yang dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Namun ternyata mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah sekian lama tidak kunjung pulang, warga berusaha mencari jejak meraka namun tidak berhasil menemukannya. Akhirnya warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. akhirnya mereka pun mengadakan upacara perkabungan atas kematian para pemimpin mereka.

Singkat cerita, janda cantik jelita istri mendiang `almarhum’ Umbu Dulla yaitu Rabu Kaba menjalin hubungan asmara dengan Teda Gaiparona, pemuda tampan yang berasal dari kampung Kodi. Namun adat setempat tidak merestui hubungan mereka, hingga akhirnya mereka nekat melakukan kawin lari. Janda cantik 'Rabu Kaba" diboyong oleh Teda Gaiparona ke kampung Kodi. Selang berapa lama setelah peristiwa tersebut, ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung halamannya. Seluruh warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita.

Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla mengetahui istrinya dibawa lari oleh Teda Gaiparona. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula. Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula, Rabu Kaba menolak untuk kembali dan lebih memilih Teda Gaiparona sebagai pasangan hidup. Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggung jawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona pun menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

Usai pesta pernikahan, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba dan diharapkan dendam kedua kampung tersebut dapat dilepaskan dengan melakukan permainan perang-perangan dan adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda.

Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.
Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. (reznatour.biz)