AnjondTeam saat Gempa 11 April 2012

13/04/2012 11:49
Rabu 11 April 2012 , bumi Aceh kembali berguncang. 2 Getaran maha dahsyat menggemparakan dan menghuru-harakan bumi Aceh kala itu. Termasuk kami AnjondTeam yang bertempat di Ibukota Serambi Mekah, Banda Aceh.

Seperti biasanya di hari Rabu, kami AnjondTeam harus mengikuti jadwal matakuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah tepatnya pukul 14.00 wib. Berhubung kala itu kebetulan tidak masuk karena dosen berhalangan hadir, maka sekitar pukul 14.30 kami dan ketiga teman lainnya memutuskan untuk pergi ke Ulee Lheue untuk menjejaki tempat mistis yang berada disana tanpa perlu kami sebutkan namanya.

Setelah kami berada disana beberapa menit dan ketika akan segera melangkahkan kaki untuk pulang sekitar pukul 15.38, tiba-tiba teman kami sebut saja “molen” memberitahu kami bahwa telah terjadi gempa “eh gempa gempa..!” sontaknya. Kami pun terhening sejenak dan melihat sekeliling bahwa getaran itu benar-benar ada. Lampu bergoyang, bangunan disekeliling pun berbunyi seperti akan segera ambruk. Kami pun tersadar bahwa kami sedang berada di Ulee Lheue, tepat di bibir pantai. Langsung saja kami lari menuju motor masing-masing.

Nah disini cerita sepertinya akan dimulai, saya “anton” dan “felix” berboncengan di satu motor. Felix sempat kesulitan membuka kunci setang motor nya karena getaran yang sangat dahsyat. Setelah berhasil membukanya, Felix langsung menancapkan motor nya dengan kecepatan tinggi menjauhi lokasi dimana kami saat itu. Sempat hampir terjadi tabrakan dengan pengguna motor lain yang juga panik, hingga akhirnya kami memutuskan menuju Mesjid Raya Baiturrahman. Tapi???

Tujuan kami pun gagal karena kami harus terjebak macet yang disebabkan kepanikan masyarakat lain yang ingin menyelamatkan diri. Pada saat itu kami terjebak di sekitaran jalan Lapangan BlangPadang. Merasa tak cukup banyak waktu, saya menyuruh felix untuk menepi ke pinggir jalan dan memarkirkan motor kami disana. Felix pun segera menuruti apa yang saya katakan.
Sangking paniknya, kami merasakan air telah berjalan mendekati kami. Membuat langkah kaki semakin kencang untuk berlari menuju Museum Tsunami. Terlihat disekeliling saya banyak anak sekolahan yang menangis karena ketakutan serta juga orang tua dan bahkan lansia yang ikut menyelamatkan diri.

Setiba di Museum Tsunami ,kami terus memantau ke arah laut sambil menghela nafas panjang betapa lelahnya dan paniknya kami saat itu. Masyarakat pun berbondong-bondong datang ke lokasi ini. ada yang terlihat bingung,panic,sedih dan bahkan menangis. Terlintas di pikiran saya bahwa saya dan felix telah berpisah dengan ke-4 teman kami lainnya. Kami hanya bisa berdoa akan keselamatan mereka.

Halusinasi akan datangnya air semakin menjadi-jadi melihat keadaan disekitar yang cukup membuat kami panik. Kami pun coba mencari petugas museum untuk segera membukakan pintu tangga menuju ke tingkatan museum Tsunami paling atas. Didukung oleh seorang ibu pegawai dinas kesehatan, saya dan felix mendatangi petugas dan memaksa untuk segera membukakan pintu. Sedikit dialog antara kami :
Kami   : Bang kenapa gak dibuka pintu menuju ke atas? (dengan nafas tergesa)
Petugas : Nanti akan saya buka ketika ada pengumuman dari BMKG selanjutnya
Kami : (terlihat kesal dengan jawaban itu) bang, ini menyangkut nyawa orang banyak. Cepat dibuka !
Petugas : iya sebentar sebentar…
Akhirnya petugas pun membukakan pintu menuju ke atas. Alasan kami memaksa petugas untuk segera membukakan pintu karena kami melihat banyak anak-anak menangis ketakutan,begitu juga dengan orang tua serta lansia yang mungkin sulit untuk menaiki tangga seandainya Tsunami benar-benar terjadi. Apalagi jalan tangga menuju ke atas sangat sempit dan gelap. Sangat berpotensi hal yang tak diinginkan bila pintu dibuka saat Tsunami benar-benar terjadi.

Kami pun langsung bergegas menaiki tangga menuju ke atas. Sesampainya disana,pandangan tetap melihat kearah laut sambil sesekali mencoba menghubungi sanak saudara dan teman-teman yang lain. Ternyata komunikasi terputus, kami pun tak bisa memberikan kabar kami saat itu. dan akhirnya sekitar pukul 17.00  kami pun turun setelah ada informasi bahwa keadaan sudah mulai aman walaupun masih banyak warga yang berlarian menuju tempat tinggi.

Kami pun mengarahkan tujuan ke rumah di kecamatan Peurada. Masih terlihat orang-orang berlari menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi salah satunya ke Mata’ie. Dan saat perjalanan pulang, dari arah berlawanan oknum tak bertanggung jawab menyebarkan isu “air naiiiik… air naiiik..!”. Sontak kami pun panik dan memutar arah ke Mata’ie. Tapi apa dikata ternyata disana macet luar biasa. Hal itu semakin membingungkan kami, bingung harus kemana.

Setelah berdiskusi dalam kepanikan, kami lanjutkan tujuan kami ke Jembatan Layang Pango Raya. Setibanya disana ,terlihat orang-orang juga telah ramai memadati lokasi ini untuk mencari aman. Terlihat juga arus kendaraan menuju Medan macet karena banyak warga menyelamatkan diri ke arah Blang Bintang. Terlihat juga helicopter beberapa kali melintas di langit yang saat itu pun terlihat suram.

Tak beberapa lama kami bertahan disana ,gempa dahsyat kembali terjadi sekitar pukul 17.30. Gempa yang diketahui berkekutatan 8,5 SR itu sempat kembali membuat panik warga yang berada di atas jembatan layang. Karena saya sendiri melihat Jembatan layang mulai memunculkan garis keretakan. Sontak hal itu membuat semuanya panic berlari kebingungan. Apalagi kembali muncul isu “air naik”. Dan sekitar kurang dari 1 menit juga gempa berlangsung. Saya dan Felix hanya berdoa yang terbaik untuk keselamatan kami.

Gempa pun berhenti dan kami pun mulai tenang, terduduk letih sambil meneguk air mineral yang ada di tas ransel kami. Tiba-tiba matahari muncul sangat terang seperti memberi tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sampai akhirnya menjelang magrib kami pun kembali menuju rumah dengan perasaan was-was dan trauma yang luar biasa.
Saat malam tiba, Banda Aceh seperti kota mati. Gelap gulita dan sepi ditinggal oleh warga yang mengevakuasikan dirinya ke tempat yang lebih tinggi.

Sampai akhirnya sekitar pukul 21.00, BMKG resmi mencabut status potensi tsunami. Tapi hal itu belum juga membuat kami tenang, dan memutuskan untuk jaga malam alias tidak tidur. Mengingat akan ada gempa-gempa susulan yang akan terjadi.

Hari itu benar-benar menjadi moment tak terlupakan bagi saya dan felix. Karena saat itu kami seperti dikejar-kejar oleh kematian. Dan menjadi hikmah buat kita bahwa kuasa Allah melebihi daya manusia hanya dengan kuasanya.
Sekian cerita dari kami ,tak ada rekayasa karena inilah faktanya. (anton)